Nikmatnya Istri Anak Buahku 1 - RATU TOGEL

Prediksi Togel Singapore Dan Hongkong

Kamis, 26 Maret 2009

Nikmatnya Istri Anak Buahku 1

Ceritanya dimulai sewaktu saya ditugaskan sebagai staff di pabrik pengolahan minyak sawit di salah satu perkebunan di Sulawesi. Namaku Alex, umurku 27 tahun, belum menikah. Sebagai seorang staff yang baru pindah ke daerah perkebunan, dimana masyarakat yg tinggal sangat berjauhan kecuali karyawan dan staff perkebunan yg sengaja dibuat dalam satu perumahan,mutlak sebagai pendukung utama opersional yang sewaktu-waktu bisa dipanggil dalam waktu 24 jam. Walaupun sebagai staff, karena sebelumnya perumahan sudah diisi oleh sebagian karyawan yg sudah duluan menempati, saya menempati rumah kopel kayu (dua rumah dempet menjadi satu bangunan) ketiga dari ujung dan agak kecil yg sebenarnya fasilitas untuk karyawan biasa. Manager pabrik sendiri menganjurkan agar memindahkan karyawan yg sudah menempati fasilitas rumah (rumah single beton) yang sebenarnya diperuntukkan bagi staff bujangan maupun keluarga, tapi untuk mengambil hati para karyawan yang mana nantinya juga akan menjadi bawahan saya Akhirnya saya pun minta agar diijinkan menempati rumah kopel
ketiga dari pinggir menghadap ke timur berhadapan dengan rumah yang menghadap ke barat dibatasi oleh jalan besar belum diaspal tapi sudah dikerasin.
Rumah tetangga sebelah kiri yang agak berjarak tanah kosong selebar satu rumah ditempati oleh karyawan laki-laki yang sudah berkeluarga teapi istrinya masih tinggal di rumah orangtuanya,jauh dari lokasi perkebunan. Biasanya dia pulang sekali sebulan untuk mengantarkan gaji bulanan untuk nafkah anak istrinya.Rumah sebelah kanan yang merupakan pasangan rumah kopelku ditempati oleh karyawan laki-laki berumur 35 tahun, namanya bersama Nardi bersama istrinya yang berumur 33 tahun, namanya Hartini. Hartini walaupun bukan termasuk wanita kota, tapi sangat modis dan mengikuti kemajuan jaman disesuaikan dengan kondisi ekonomi. Yang paling membuat saya sangat kagum adalah bentuk payudara yang sangat padat berisi dan body yang cenderung montok. Dengan kondisi rumah kopel kayu seperti itu biasanya sepelan apapun pembicaran ataupun gerakan dalam rumah akan terasa di rumah sebelah. Dan saat itu kebetulan Nardi masuk dalam shift-1 dibawah pimpinan saya.Karena saya masih bujangan dan memang bukan tipe yang rajin ngurus rumah, untuk makan biasanya saya makan di warung yang berada di luar lingkungan perumahan berjarak sekitar 500 meter dari perumahan pabrik dan 50 meter dari pabrik. Untuk cuci pakaian, aku usahakan cuci sendiri walaupun hanya satu kali seminggu. Seringkali kalau udah malam atau hujan, terpaksa aku tidak makan nasi, hanya mengandalkan mi instant yang direbus seadanya. Karena mungkin kasihan, pada suatu sore sepulang kerja shift-1 pagi, kami bertiga, aku, Nardi dan Hartini ngobrol di teras, dan saat itu Nardi yang menjadi bawahanku itu menyarankan agar makan di rumahnya saja setiap hari dengan membayar secukupnya kepada istrinya.

Akhirnya terjadi kesepakatan untuk makan setiap hari sekalian cuci pakaian ditanggung jawabi oleh Hartini. Karena setiap hari berdekatan dan makan bersama semakin lama hubungan kamipun semakin akrab dan tidak sungkan lagi ngobrol berdua tanpa suaminya. Awal kejadian pada suatu sore sepulang kerja sekitar jam 16.00, dan Nardi masih lembur di pabrik untuk mencari tambahan aku dan Hartini duduk ngobrol di teras. Saat itu aku menanyakan kenapa mereka yang sudah menikah 9 tahun belum punya anak. Dia dengan malu-malu bercerita bahwa mereka sudah sangat menginginkan anak dan sampai saat ini Hartini sudah periksa ke dokter dan dinyatakan tidak ada masalah, dan suaminya sendiri katanya tidak mau periksa karena merasa tidak ada kelainan dalam hal fisik, dan kebutuhan batin istrinya sanggup terpenuhi. Dari situ, semakin lama pembicaraan kami semakin bebassampai saya bercerita bahwa aku pernah mempunyai bekas pacar yang fisiknya agak montok seperti
Hartini, dan iseng-iseng aku mengatakan bahwa biasanya wanita yang cenderung montok mempunyai payudara yang lembek dan turun dan rambut vagina sedikit dan jarang-jarang. Hartini membantah bahwa tidak semuanya begitu, dan dia sendiri mengatakan bentuk kepunyaan dia sangat bertolak belakang dengan yang saya katakan.

Karena saya penasaran saya katakana bahwa Hartini pasti bohong, tapi dia menyangkal, akhirnya dengan jantung berdebar keras takut kalau Hartini marah saya minta tolong apabila bersedia ingin melihatnya.

Tapi mungkin demi menjaga agar dia tidak dianggap murahan, dia menolak keras, lama kelamaan saya memohon dengan muka pura-pura dibuat kasihan ditambah alasan bahwa sudah kangen banget sama pacar yang saat itu berada di Jakarta yang biasanya sekali seminggu bertemu, akhirnya dia mengatakan dengan pipi merah bahwa saya boleh melihat dia tapi dari jauh dan tidak boleh menyentuhnya.Saya tentu saja dengan cepat menyetujuinya. Dengan gerak malas-malasan atau dibuat pura-pura berat hati, dia berjalan menuju kamar belakang yang berdampingan dengan kamar depan dan tak lupa menutup jendela belakang yang berhadapan dengan lahan perkebunan masyarakat untuk menjaga apabila secara kebetulan ada orang yang bekerja di lahan tersebut. Kemudian dia berdiri sambil tersenyum malu-malu kepada saya yang tak mau melepasakan pemandangan indah tersebut dari jendela depan yang sengaja saya atur posisi saya masih di teras tetapi kepala saya melongok ke dalam rumah seakan-akan kalau orang melihat dari halaman ataupun lewat dari jalanan kami sedang berbicara dengan orang yang berada di dalam rumah.

Jarak antara posisi duduk saya (diperbatasan teras rumah saya dengan rumah dia) hanya berjarak sekitar empat meter saja ke posisi dia berdiri di kamar belakang. Dengan lagak seorang model dia bergerak pelan-pelan membuka kaos birunya sambil jalan ke kiri dan kanan secara perlahan sampai ke balik pintu kamar sampai mata saya kadang tidak mampu melihat pemandangan yang mengasyikkan, tetapi setiap mau ke arah balik pintu saya perlahan teriak
“Tin, jangan sampai kesitu dong, aku nggak bisa lihat nih.”.


Sepertinya Hartini memang sengaja membuat saya penasaran. Kaos yang ditarik ke atas lalu dijepit oleh ketiaknya dan kelihatan BH berwarna merah menyala seakan-akan tidak mampu menutupi semua payudara montok putih yang menyembul keluar dari bagian atas BH nya seakan-akan protes mengapa dia dijepit terlalu keras.
Setelah didiamkan sekitar 30 detik, sambil tersenyum mengedipkan mata sebelah kepada saya,
dia pun mulai membuka kancing depan BH dan membiarkan cup BH nya menjuntai kebawah. (Akhirnya saya ketahui bahwa Hartini mempnyai ukuran 36 dan cupnya saya kurang tau, yang jelas satu telapak tangan saya masih belum bisa menutupi sebelah payudaranya dan dia mempunyai BH yang tidak mempunyai kancing dibelakang). Mata saya seakan-akan mau keluar melihat pemandangan tersebut, sedangkan dia sendiri seakan-akan bangga menatap bagaimana saya sangat terpesona dengan payudaranya dengan puting sebesar puntung rokok Sampoerna Mild dan berwarna coklat kemerahan . Dalam 30 detik seakan-akan saya tidak bernafas tidak mau melepaskan pandangan saya sampai akhirnya dia berseru pelan “Udah ya, ntar lagi suamiku pulang”
Saya tidak dapat berkata apapun saat itu dan sesudah merapikan pakaiannya, Hartini kembali ke teras
seakan-akan tidak terjadi apa-apa kecuali berdiam diri dan duduk diteras rumahnya sedangkan saya sudah
pindah duduknya kembali ke teras rumah saya. Setelah beberapa lama, perlahan berkata,
“Jangan bilangin sama siapa-siapa ya?” kelihatannya Hartini sangat ketakutan apabila diketahui orang lain.
“Jelas dong, masak gua bilangin sama orang, kan gua juga menanggung resiko”
Sesaat kemudian dari jauh sudah kelihatan bahwa Nardi sudah pulang bersama teman-temannya yang ikut
lembur. Kami pun berusaha berbicara normal tidak perlahan lagi tetapi membicarakan yang lain.
Setelah menaiki tangga, Nardi langsung menyerahkan tas bekalnya kepada Hartini dan Hartini langsung
membawa masuk sambil memberesi tempat bekal suaminya. Saya dan Nardi ngobrol sebagaimana layaknya
bertetangga walaupun dia tetap menaruh hormat karena bagaimanapun kalau di pabrik dia menjadi bawahan
saya.
Malamnya saya terus memikirkan persitiwa tadi sore, kenapa dia bersedia menunjukkan sesuatu yang
harusnya hanya boleh dilihat oleh suaminya, padahal dia mengatakan dalam hal kepuasan batin dia
mengakuinya. Dalam hati saya berniat untuk lebih jauh., lagi mengingat bahwa Hartini tidak marah.
Besoknya kira-kira dalam situasi yang sama sepulang kerja kami ngobrol kembali, dan saya beranikan untuk
memancing lagi. “Kemarin memang benar ya, punya kamu memang bagus sekali bukan karena BH”.
Dia tersenyum manis sedikit malu mungkin merasa bangga dengan pujian yang keluar dari mulut saya.
“Tapi saya nggak yakin bahwa rambut bawah kamu bukan seperti yang saya lihat punya bekas pacarku
dulu”
Dengan masih tertawa kecil dia memperbaiki rambutnya dengan kedua tangannya. “Kan kemarin aku bilang apa,sekarang minta itu,sekarang ini,besok minta yang lain lagi dong Awas lho
nanti ketahuan pacarmu yang sekarang di Jakarta,tau rasa deh.”
“Nggak mungkin dia tahu, kecuali kamu yang bilangin”
Walaupun saya menjawab mengatakan tidak perlu khawatir, tapi dalam hati saya bertanya kenapa justru
pacar saya yang dia khawatirin bukannya diri sendiri atau suaminya. Berkat bujukan dan rayuan seorang
laki-laki walaupun bukan seorang ahli, dia berkata perlahan “Tapi ingat ya, hanya sebentar dan sekali ini saja ya. Aku takut nanti ketahuan sama suamiku, bisa dibunuh
aku nanti. Sekalian awasi orang lain mana tau ada yang mau kesini” Saya hanya mengangguk cepat, tak sabar melihat pemandangan yang akan saya lihat.
Perlahan Hartini berjalan menuju kamar belakang sambil saya menikmati pantatnya seperti pantat bebek
sedang berjalan. Pemandangan dari belakang membuat penis saya sudah mulai naik dan saya langsung
membereskan posisi ****** saya agar tidak sakit. Sesampai di kamar dia pun sepertinya agak gugup
mengintip sekeliling luar rumah dari celah papan. Sebentar kemudian dia menaikkan rok katun berwarna
hitam setinggi lutut sampai celana dalam merahnya kelihatan. Mata saya seakan tidak mau berkedip takut
melewatkan pertunjukan gratis tersebut. Dia menatap saya dengan mata gugup, sepertinya ingin pertunjukan
tersebut.
“Lex, udah lihat kan” teriaknya perlahan seperti berbisik. “Kan belum dibuka, tadi udah janji boleh lihat dari jauh. Kalau nggak aku aja deh yang buka ke situ ya”
sahutku dengan perlahan sambil mata mengawasi sekeliling, tapi saya yakin masih kedengaran kepada dia.
“Jangan …jangan kesini, disitu aja.”dia menjawab sepertinya ketakutan. Saya pun menganggukkan kepala .
Kemudian dia melepaskan lagi rok yang sebelumnya diangkat sampai jatuh seperti posisi biasa, dan kedua
tangannya masuk dari bawahnya menurunkan celana dalamnya sampai lepas, dengan sebelah tangan masih memegangi celana dalam kemudian Hartini mengangkat roknya kembali ke atas. Ya ampun……Vaginanya sepertinya tertutupi oleh pegunungan hitam. Dia menatap saya dan mengangguk dengan ekspresi
meminta persetujuan agar selesai. Saya sendiri berusaha agar lebih lama lagi menonton, tapi 15 detik
kemudian dia langsung membungkuk dan memakai kembali celana dalamnya. Kemudian dia membuka pintu kamar belakang untuk menghilangkan kecurigaan suaminya apabila pulang nantinya dan langsung menuju dapur untuk memberesi makan malam kami nantinya dan tidak bertemu lagi sampai kami makan malam. Dalam hati saya mulai yakin bahwa saya tidak bertepuk sebelah tangan. Selama ini apabila saya merasa sudah horny, sayang melampiaskan dengan onani di kamar sambil tiduran ataupun di kamar mandi.
Semenjak kejadian tersebut saya mulai berani memeluk, mencium maupun meraba sekalian menciumi buah
dadanya sewaktu giliran Hartini mau mengantarkan pakaian bersih dan menyusun di lemari pakaianku yang
saya tempatkan di kamar tidurku. Biasanya sewaktu dia mau ngantar pakaian di depan pintu kamar biasanya
dia sudah kasih kode jari di mulut, memberi info tidak aman. Apabila aman dia cuma senyum kecil, saya
mengartikan isyarat aman. Disaat seperti itulah biasanya saya bisa menikmati bibir maupun teteknya.
Kadang saking gemasnya saya tak sadar mengisap puting buah dadanya sampai dia kesakitan dan berbisik
“Lex…. Jangan keras-keras. Emang nggak sakit.”
Biasanya saya langsung minta maaf dan mengelus-elus buah dadanya dengan mesra. Ada kalanya Hartini
tidak mau dicium karena sedang pake pewarna bibir, katanya nanti kalau dicium bisa hilang, suaminya bisa
curiga, Sampai sampai sewaktu memberikan uang makan dan cuci pakaianku pun selalu saya menaruhnya
sendiri di tengah buah dadanya baru saya tutup sendiri BH nya dan diakhiri dengan senyum dan cium.
Puncak perselingkuhan kami adalah saat saya mau masuk shift sore, masuk jam empat sore dan biasanya
pulang jam 12 malam, kalau buah sawit sedang panen raya dan menumpuk biasanya diteruskan sampai pagi.
Setiap shift sore biasanya saya akan pulang sekitar jam 7 atau 8 malam untuk malam, sementara bisa
bergantian dengan asistenku, biasanya jatah satu jam. Dan suami Hartini yaitu Nardi biasanya karena tidak
punya kendaraan, malas pulang dan sudah membawa bekal dari rumah sore harinya. Sore itu sekitar jam 2
siang saya sudah mandi dan bersiap-siap mau berangkat, karena sebagai kepala shift harus koordinasi dulu
dengan kepala shift pagi, dan saya masih memakai handuk bertelanjang dada di kamar, Hartini datang ke
kamar sambil menaruh jari diatas bibir, pertanda tidak aman. Saya berbisik,
“Emang dimana suamimu” “Itu masih lagi tidur di kamar” jawabnya perlahan.
Hartini pun berjalan menuju lemari pakaianku sambil
tangan kirinya mencubit puting tetekku. Saya merasa geli, dan mau membalas mencubit teteknya. Dia mengelak sambil berbisik,
“Jangan sekarang,ntar malam aja,waktu pulang makan” “Dimana”
“Ntar ke kamar saja langsung, pintu belakang tidak kukunci, hanya ditutupkan saja”
“Tapi nanti jangan pake apa-apa ya.“ godaku pelan sambil main mata.
Saya diam memikirkan kata-katanya, Sambil berjalan ke teras saya masih sempatkan meraba pantatnya
sampai dia menepiskannya. Saya kaget memikirkan ada apa Hartini malah mengundang saya malam-malam
ke kamarnya.

Bagian 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar